18 Juni 2010

Maafkan Aku, Bulan.


Inilah yang sebenarnya selama ini kutunggu. Saat lampu-lampu jalanan dan neon-neon rumahan tertunduk malu. Sudah terlalu lama kau menyombongkan diri !
Melihat jalan-jalan gelap. Seraya berkata, “Aku bias Menggantikan Bulan !. Bahkan, Lebih Dari itu, Akulah Bulan kalian sekarang !
Sombong !!!
Sang Bulan, hanya tersenyum pahit di ujung sana. Menggeram, menyeringai sambil Memaki diri dan bersumpah-serapah.
“Dasar Tak tahu malu !. Tanpa otak-otak murahan dan kabel-kabel kusut itu, Kau bukanlah apa-apa !”.
“Dan kau manusia-manusia licik, dimana kau ?. Apakah kau lebih membela mereka ?. Aku karya Sang Tuhan !. Kau lebih memuji karyamu sendiri daripada mengagungkan karya Tuhan. Padahal, aku sudah lama di duniamu ini. Menerangi malam-malammu, dan menjagamu kala tertidur lelap. Bosankah kau? Ataukah aku sudah terlalu tua, sehingga keindahanku tak pernah lagi jadi metafora ?”
Hujan turun.
Menangiskah Sang Bulan ?. Tidak. Bulan tak ‘kan pernah menangis meski manusia-manusia licik itu telah menghianatinya. Lalu apa ini ?. Sang Langitkah yang menangis ?. Bisa saja… Mungkin dia menangis karena merasakan kepedihan yang sama dengan Sang Bulan.Tidak, aku yakin, Langit makhluk yang kuat. Entahlah. Hujan ini membingungkan.
Lalu, beberapa saat setelah itu, ada teriakkan kuat yang kian menggema. Blaarrr !!!
“Hei bung, Apa yang kau pikirkan ?. Apakah kau tak melihat tubuh suciku ?”.
Beberapa saat kemudian, aku sadar, bahwa suara itu berasal dari sang awan.
“Maafkan aku. Aku tak tahu itu kau”.
“Kau terlalu angkuh. Hingga kadang tak sadar bahwa alam berbicara padam”.
“Maaf. Tapi, kulihat, air hujan ini keruh. Apakah ini yang kau sebut Rahmat tuhan, wahai Awan?”.
“Jangan salahkan aku, kawan. Tanyakan saja kepada teman-teman manusiamu. Tanyakan saja pada Tahi-tahi kendaraan mereka !”.
Aku terdiam. Merenung dalam malam. Ah, aku merasa malu. Lebih dari itu, aku merasa bersalah terlahir menjadi manusia. Busuk, Egois, Kaumku hanya bisa mengeksploitasi alam tanpa pernah berfikir akan kebahagiaan alam. Maafkan aku, Tuhan. Maafkan kami, Tuhan…
Generator-generator itu kembali menyala. Listrik-listrik dengan kekuatan lari yang cepat –entah berapa Ampere- kembali menyatroni Lampu-lampu jalanan dan neon-neon rumahan. Sinar bulan mengabur begitu saja…
Aku terjaga. Suara bising teriakkan kegembiraan penghuni-penghuni rumah lain membangunkanku. Sial, hanya mimpi. Dengan langkah gontai, ku ambil segelas air. Kuminum seteguk demi seteguk. Aku terhenyak, sampai sampai tersedak. Tirai jendela kamarku tersingkap oleh angin. Dan, diatas sana, di luar jendelaku. Sang bulan tersenyum padaku sambil berkata, “Sampaikanlah pada mereka !”.
Aku tersungkur.
Maafkan aku, Bulan…
Maafkan aku Alam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please, Comment disini ya...