Melihat
jalan-jalan gelap. Seraya berkata, “Aku bias Menggantikan Bulan !.
Bahkan, Lebih Dari itu, Akulah Bulan kalian sekarang !
Sombong !!!
Sang Bulan, hanya
tersenyum pahit di ujung sana .
Menggeram, menyeringai sambil Memaki diri dan bersumpah-serapah.
“Dasar Tak tahu malu
!. Tanpa otak-otak murahan dan kabel-kabel kusut itu, Kau bukanlah
apa-apa !”.
“Dan kau
manusia-manusia licik, dimana kau ?. Apakah kau lebih membela mereka ?.
Aku karya Sang Tuhan !. Kau lebih memuji karyamu sendiri daripada
mengagungkan karya Tuhan. Padahal, aku sudah lama di duniamu ini.
Menerangi malam-malammu, dan menjagamu kala tertidur lelap. Bosankah
kau? Ataukah aku sudah terlalu tua, sehingga keindahanku tak pernah lagi
jadi metafora ?”
Hujan turun.
Menangiskah Sang Bulan ?. Tidak. Bulan
tak ‘kan
pernah menangis meski manusia-manusia licik itu telah menghianatinya.
Lalu apa ini ?. Sang Langitkah yang menangis ?. Bisa saja… Mungkin dia
menangis karena merasakan kepedihan yang sama dengan Sang Bulan.Tidak,
aku yakin, Langit makhluk yang kuat. Entahlah. Hujan ini membingungkan.
Lalu, beberapa saat
setelah itu, ada teriakkan kuat yang kian menggema. Blaarrr !!!
“Hei bung, Apa yang
kau pikirkan ?. Apakah kau tak melihat tubuh suciku ?”.
Beberapa saat
kemudian, aku sadar, bahwa suara itu berasal dari sang awan.
“Maafkan aku. Aku tak
tahu itu kau”.
“Kau terlalu angkuh. Hingga kadang tak sadar bahwa alam
berbicara padam”.
“Maaf. Tapi, kulihat, air hujan ini keruh. Apakah ini yang
kau sebut Rahmat tuhan, wahai Awan?”.
“Jangan salahkan aku, kawan. Tanyakan
saja kepada teman-teman manusiamu. Tanyakan saja pada Tahi-tahi
kendaraan mereka !”.
Aku terdiam. Merenung dalam malam. Ah, aku merasa malu.
Lebih dari itu, aku merasa bersalah terlahir menjadi manusia. Busuk,
Egois, Kaumku hanya bisa mengeksploitasi alam tanpa pernah berfikir akan
kebahagiaan alam. Maafkan aku, Tuhan. Maafkan kami, Tuhan…
Generator-generator
itu kembali menyala. Listrik-listrik dengan kekuatan lari yang cepat
–entah berapa Ampere- kembali menyatroni Lampu-lampu jalanan dan
neon-neon rumahan. Sinar bulan mengabur begitu saja…
Aku terjaga. Suara
bising teriakkan kegembiraan penghuni-penghuni rumah lain
membangunkanku. Sial, hanya mimpi. Dengan langkah gontai, ku ambil
segelas air. Kuminum seteguk demi seteguk. Aku terhenyak, sampai sampai
tersedak. Tirai jendela kamarku tersingkap oleh angin. Dan, diatas sana , di luar
jendelaku. Sang bulan tersenyum padaku sambil berkata, “Sampaikanlah
pada mereka !”.
Aku tersungkur.
Maafkan aku, Bulan…
Maafkan aku Alam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please, Comment disini ya...